Ketahanan Ekonomi Nasional Dalam Ketidakpastian Global

Ketahanan Ekonomi Nasional Dalam Ketidakpastian Global

Oleh: Ajib Hamdani, Selaku Analisis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)

Pada Hari Sabtu malam, 13 April 2024, Iran meluncurkan rudal dan drone ke Israel. Kejadian ini menambah rumit kondisi global ketika konflik Rusia-Ukraina juga belum mendapatkan jalan tengah perdamaian. Konflik antarnegara yang semakin memanas akan memberikan derita secara ekomoni dan menambah panjang daftar scaring effect pasca pandemi yang dalam tahap pemulihan. Dampak secara global akan memberikan pengaruh trickle down effect terhadap ekonomi nasional.

Dalam konteks ekonomi nasional, perlu dicermati dengan baik dan dimitigasi resiko yang membawa dampak secara langsung, karena bersamaan dengan konflik politik global ini, rupiah juga terus mengalami penurunan nilai mencapai 16 ribu rupiah per dolar. Bahkan Menteri BUMN, Erick Thohir, memprediksi dolar akan cenderung lama bertengger di atas 16 ribu dan menginstruksikan BUMN untuk membeli dolar. Kepanikan kementerian BUMN ini diredam oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Pak Airlangga Hartarto, yang menyatakan bahwa Indonesia masih mempunyai cadangan devisa yang cukup kuat, lebih dari US$ 144 miliar. Menjaga psikologi pasar seperti ini sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Kondisi konflik geopolitik dan ketidakstabilan ekonomi global, menimbulkan paling tidak 2 (dua) hal yang harus dimitigasi. Pertama, terganggunya rantai pasok ekonomi, yang akan mengakibatkan kenaikan harga atas komoditas impor, termasuk bahan baku, minyak, maupun ongkos logistik. Hal ini akan memicu kenaikan HPP (Harga Pokok Penjualan) sehingga akan mengeskalasi inflasi. Sepanjang tahun 2023, inflasi di Indonesia masih dalam rentang kendali sesuai dengan kerangka ekonomi makro yang disusun, dan secara agregat di akhir tahun 2023 hanya di kisaran 2,6%. Inflasi sepanjang tahun 2024 diproyeksikan 2,5% plus minus 1%, artinya inflasi masih bisa ditoleransi sampai dengan 3,5%. Kondisi kenaikan harga komoditas impor akan memberikan sentimen negatif dalam inflasi.

Hal kedua, adalah kebijakan ekonomi Amerika imbas kondisi geopolitik yang ada, yaitu cenderung akan menahan tingkat suku bunga The Fed. Sebelumnya pasar mempunyai ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan. Kebijakan moneter Bank Sentral Amerika ini menjadi patron dominan BI (Bank Indonesia) dalam membuat kebijakan moneter nasional. Ketika tingkat suku bunga The Fed tinggi, akan terjadi potensi crowding out atau capital outflow sehingga semakin memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Di sisi lain, tingkat suku bunga tinggi, akan mengurangi likuiditas keuangan di kegiatan perekonomian. Kondisi yang dilematis dari sisi moneter.

Selanjutnya perlu kita lihat indikator-indikator ekonomi makro Indonesia, untuk mengukur ketahanan dalam mengahadapi ketidakpastian global ini. Paling tidak ada 4 (empat) hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, tren pertumbuhan ekonomi. Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang cukup agresif pasca pandemi, bahkan diatas 5%. Tahun 2023 mencapai angka 5,05% dan diproyeksikan akan mencapai kisaran 5,2% secara agregat di akhir tahun 2024. Kedua, Inflasi. Dengan selisih ekspor-impor yang masih positif, potensi eskalasi inflasi akibat bahan baku impor, diprediksi masih akan dalam rentang daya tahan inflasi, dan sampai akhir tahun 2024 tidak melebihi 3,5%.

Ketiga, PDB (Produk Domestik Bruto) perkapita. pada Tahun 2023 Indonesia mempunyai PDB sebesar Rp. 20.892,4 triliun (nomor 16 besar dunia) dan jumlah penduduk sekitar 280 juta orang (nomor 4 besar dunia), sehingga PDB perkapita Indonesia mencapai 75 juta rupiah atau setara US$4.919. Dengan PDB yang masih nomor 16, sedangkan jumlah penduduk nomor 4, maka potensi ekonominya masih sangat besar.

Keempat, keseimbangan primer keuangan negara. kondisi neraca keuangan negara masih dalam keseimbangan primer yang positif, artinya total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran hutang, masih positif. Hanya, yang perlu dicermati adalah, ketika pemerintah membuat proyeksi nilai tukar rupiah dalam kisaran 15.000 rupiah, maka pembayaran hutang luar negeri akan mengalami kenaikan, ketika rupiah terus melemah dibandingkan dolar.

Selanjutnya, pemerintah perlu fokus dalam 3 (tiga) hal utama untuk penguatan ekonomi dalam negeri. Yaitu: hilirisasi, orientasi ekspor dan substitusi impor, serta peningkatan kualitas investasi yang bisa lebih menyerap tenaga kerja. Sebenarnya program ini sudah menjadi bagian program asta cita Prabowo Subianto yang menjadi presiden terpilih.

Dengan beberapa indikator yang ada, ekonomi nasional masih cenderung bagus dan bertahan positif dalam ketidakpastian global, sepanjang pemerintah konsisten mendorong program-program yang pro dengan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Jakarta, 18 April 2024
Ajib Hamdani (Analis Ekonomi Apindo)

Editor: Tim kreatif media politik kaltim