Oleh: I Ketut Darma Laksana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Ketertarikan Soekarno dalam bidang politik tidak dapat dipisahkan dari pengaruh H.O.S. Tjokroaminoto. Kemudian, setelah menjadi mahasiswa di THS hobi berpidato dan aktivitas politiknya tak terbendung lagi. Pada tahun 1922, ketika menghadiri rapat Radicale Concentrate, yaitu sebuah rapat raksasa di lapangan kota Bandung, Soekarno yang merupakan perwakilan perkumpulan pemuda untuk pertama kalinya menyampaikan pidato di depan sebuah rapat umum. Pada saat itu terdapat perbedaan mencolok apa yang disampaikan Soekarno dengan apa yang
disampaikan oleh para pemuda sebelumnya. Jika pembicara sebelumnya menyampaikan pidato yang cenderung mengemis-ngemis kepada kaum penjajah, Soekarno sebaliknya, menegaskan sikapnya yang konfrontatif terhadap Belanda. Akibat pidatonya itu, Heynen, Kepala Polisi Bandung, pada saat itu sangat marah dan menghentikan pidato Soekarno. Sejak saat itu, Politieke Inlichtingen Dienst (PID), sebuah dinas intelejen politik Belanda, mulai mengawasi gerak-gerik Soekarno. Bahkan, Soekarno dipanggil oleh Sekretaris Majelis Direktur THS, Prof. Ir. Jan Klopper, dan diminta berjanji untuk menghentikan aktivitas politiknya, termasuk aktivitas berpidato, hingga masa studinya berakhir (Tabroni, 2015:51).
Setelah menamatkan studinya dan memperoleh gelar insinyur teknik sipil, dengan spesialis arsitektur, aktivitas politiknya mulai digeluti. Namun, perjalanan politik Bung Karno membawanya keluar- masuk penjara. Penjara
Bantjeuj dan Sukamiskin Bandung serta pembuangannya di beberapa tempat di Indonesia ini, seperti Ende-Flores ataupun Prapat-Sumatera bersama Agus Salim, ternyata membesarkan jiwanya untuk terus berjuang membebaskan
bangsa dari cengkeraman penjajah (Adams, 1966:127; 143).
Semangat nasionalismenya yang tinggi membuat Soekarno tertantang untuk mendirikan sebuah organisasi pada tahun 1926 di Bandung, yakni Algemene Studie Club. Kemudian, pada 4 Juli 1927, Soekarno mengubah organisasi tersebut dengan nama Partai Nasional Indonesia (PNI). Bagi Belanda, Soekarno memang sering dianggap sebagai “duri dalam daging” yang harus selalu diawasi. Setiap gerak-gerik Soekarno tidak pernah lepas dari perhatian Belanda yang kadang-kadang menggunakan mata-matanya untuk terus mengawasi Soekarno. Salah satu contohnya
adalah ketika Soekarno berpidato di Yogyakarta. Saat itu dalam pidatonya Soekarno menyebut Belanda sebagai imperialisme. Perilaku politik Soekarno seperti itu menyebabkan mengapa Belanda sering kali menangkap dan
mengasingkannya di beberapa tempat di Indonesia. Belanda melihat Soekarno merupakan ancaman paling berbahaya dalam tujuannya menguasai Indonesia.
Masih sebagai tahanan di Penjara Sukamiskin, pada tahun 1926 Bung Karno menjalani persidangan dengan mengajukan pleidoi bertajuk “Indonesia Menggugat” di gedung Lanraad, Bandung. Hal yang menarik dalam pleidoinya ialah sasaran tidak hanya ditujukan kepada para hakim yang menyidangnya, tetapi juga pihak luar, terutama kepada bangsa Belanda yang menjadi pelaku imperialisme. Bung Karno mengingatkan Belanda bahwa dirinya bukan kaum pemberontak, melainkan orang yang ingin menuntut haknya untuk merdeka, bisa menentukan nasibnya sendiri sehingga Belanda tidak patut melakukan pemerasan terhadap bangsa Indonesia. Pleidoi inilah kemudian menjadi bahan kajian di Negeri Belanda sehingga hukuman yang seharusnya empat tahun menjadi dua tahun (Tabroni, 2015: 128; Adams, 1966:38).
Kegiatan Politik Soekarno di Mata Jepang
Hal yang sebaliknya terjadi pada Jepang. Soekarno di mata Jepang merupakan sosok yang sangat penting untuk diajak bekerja sama. Sikap politik dan nasionalisme Soekarno telah dipahami dengan baik oleh Jepang. Alasannya, hanya satu, yaitu Soekarno anti Belanda. Pada awalnya, banyak kawan seperjuangan Soekarno–termasuk Hatta—tidak setuju dengan sikapnya yang lunak pada Jepang, seperti curahan hatinya di bawah ini.
“Bung Hatta dan saja dimasa jang lalu telah mengalami pertentangan jang mendalam. Memang disatu waktu kita tidak berbaik satu sama lain. Akan tetapi sekarang kita Menghadapi suatu tugas jang lebih besar dari pada jang dapat dilakukan oleh salah seorang dari kita. Perbedaan dalam hal partai atau strategi tidak ada lagi. Pada waktu sekarang kita satu. Dan kita bersatu didalam perdjoangan bersama” (Adams,1966:265).
Bersama-sama dengan Sjahrir, satu satunya yang ikut hadir, Soekarno menjelaskan rencana gerakan pada masa yang akan datang. Soekarno mau bekerja sama dengan Jepang dengan strategi “terang-terangan” (di atas tanah) da “rahasia” (dibawah tanah), yang satu dengan yang lain saling mengecualikan. Untuk memperoleh konsesi-konsesi politik yang berkenaan dengan pendidikan militer dan jabatan-jabatan pemerintah bagi orag Indonesia, tidak ada jalan lain, selain bekerja sama dengan Jepang.
Di sini terlihat strategi Soekarno ialah menggerakkan massa. Hal yang bersifat rahasia ialah bekerja sama dengan Jepang dapat memberikan keuntungan berupa kesiapan bangsa Indonesia, mendidik dan mempersiapkan fisik dan
mental rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Pada akhirnya, tibalah waktunya Jepang menyerah kepada Sekutu. Amerika Serikat menjatuhkan bom di Nagasaki pada 6 Agustus dan menyusul di Hiroshima pada 9 Agustus 1945.
Kemudian, Jepang menyerah. Inilah detik-detik menjelang terwujudnya Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.