PolitikKaltim.com – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 sesuai dengan amanat Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Hal ini ditekankan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.
Merespons hal tersebut, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani sarankan 2 kebijakan penyeimbang kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, yaitu dengan perluasan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan memberikan PPN ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor tertentu.
“Dari sisi regulasi, sepanjang tidak ada aturan yang membatalkan pasal tersebut, maka pemerintah akan menjalankan kebijakan kenaikan tarif PPN tersebut.
Tetapi, secara empiris, pemerintah bisa menunda pelaksanaan aturan tersebut. Seperti halnya pemerintah juga menunda pemungutan pajak karbon, yang seharusnya efektif dimulai 1 April 2022.
Secara regulasi, pelaksanaan peraturan atau pelaksanaan peraturan, tergantung willingness dan orientasi pemerintah,” ujar Ajib saat Press Release melalui pesan WhatsApp kepada media politik kaltim.com, Senin (12/8/2024).
Sudut pandang yang lebih rasional, pemberlakuan kenaikan tarif PPN ini cenderung lebih karena aspek budgeteir, yaitu fungsi fiskal untuk menambah penerimaan negara.
Penerimaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tahun 2023 sebesar Rp 764,3 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen dan inflasi 2,5 persen pada tahun 2024 dan 2025, maka kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen akan memberikan kontribusi penerimaan tambahan tidak kurang dari Rp 80 triliun pada tahun 2025.
“Kalau betul aspek budgeteir ini yang menjadi pertimbangan pemerintah, seharusnya ada kajian yang lebih mendalam, karena tren daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan.
Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri menunjukkan kelas menengah mengalami penurunan dari 21,45 persen pada tahun 2019 menjadi 17,44 persen pada tahun 2023.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia juga menyebutkan 8,5 juta penduduk Indonesia turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah dalam rentang 2018-2023,” ungkap Ajib.
Di sisi lain, data makro ekonomi menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara signifikan lebih dari 60 persen ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
“Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif, maka target pemerintah (Presiden dan Wakil Presiden Terpilih) Prabowo – Gibran yang membuat target pertumbuhan ekonomi cukup agresif, akan menghadapi kendala,” ujar Ajib.
2 Kebijakan Penyeimbang Kenaikan PPN 12 Persen
Dengan demikian, jalan tengahnya adalah pemerintah bisa melakukan 2 kebijakan. Pertama, untuk tetap menjaga daya beli masyarakat, pemerintah bisa menurunkan batas PTKP. Sesuai dengan PMK Nomor 101 tahun 2016, besaran PTKP adalah sebesar Rp 54 juta per tahun atau ekuivalen dengan penghasilan Rp 4,5 juta per bulan.
“Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar Rp 100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” kata Ajib.
Kedua, pemerintah fokus mengalokasikan tax cost dengan memberikan PPN DTP untuk sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi.
Misalnya, sektor properti atau sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.
“Tetapi, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan, sehingga fiskal bisa tetap prudent,” imbuh Ajib.
Prinsipnya, pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan untuk menaikkan tarif PPN. Ajib menekankan, harus ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan sektor usaha agar terus berjalan dengan baik.
“Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen membutuhkan kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan,” tambahnya. (*)
Penulis: Hikmah
Editor: Redaksi Media Politik Kaltim