Mengupas Pancasila di Era Demokrasi

Nalar, PolitikKaltim.com – Ini menjadi bahan evaluasi kita semua untuk memahami Pancasila dalam konteks berdemokrasi, Pancasila dalam analogi matematika disebut sebagai common denominator, penyebut yang sama dalam variabel pecahan-pecahan angka, jadi Pancasila adalah pengikat dari pecahan-pecahan berbagai agama, etnis, golongan dan kelas sosial di Indonesia.

Penjelasan Universalisme Pancasila itu ada di sila ke 3, yang dipahami Sukarno sbg Internasionalisme, bahwa Persatuan Keindonesiaan itu berdasarkan Ketuhanan dan Kemanusiaan yang merupakan prinsipil dasar humanisme dan transdentalisme.

Dan Pancasila ini juga dipandang sebagai Weltanschauung (world view), jadi Pancasila berangkat dari proses induksi khazanah lokal nusantara, yang kemudian diintisarikan menjadi 5 dasar negara (Pancasila), maka dengan sendiri nya Pancasila itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan,

etnis, golongan dan kelas di Indonesia, hal ini sebagaimana rujukan yang saya baca dari Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dsb.

Yudi Latif dan Cak Nur menyebutnya dengan: The Ideology of Social Inclusion (Ideologi untuk Semua).

Dan pancasila memiliki hubungan yang erat dengan akar Islam, bahkan Pancasila itu kenapa memiliki 5 dasar, kemudian 3 dan 1. Karena memiliki nilai kosmologi antropokosmik Islam nya.

Dan memang nuansa Tasawuf nya kental, karena dasar Islam Keindonesiaan itu memang Tasawuf, jadi nuansa esoterisme nya dalam, perlu ada refleksi dulu agar tulisan nya kemudian bisa dipahami banyak pembaca.

Dan jika pun lahir perbedaan, saya memahaminya itu bukan pada pegangan dasar nya, tapi interpretasi atas kesepakatan kepada apa yang dijadikan dasar itu.

Keragaman dalam pandangan dunia karena berbagai macam nya ilmu yang masuk ke Indonesia, membuat kita seolah-olah berbeda, padahal yang beda itu hanya cara pandang kita, pada hakikat nya dasar nya sama, yaitu Pancasila dgn sifat-sifat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. (*)

Penulis: Oleh M. Dudi Hari Saputra